Skip to main content

Limfoma Non Hodgkin

Insidensi 
Limfoma non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama dijumpai pada usia agak tinggi. Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe bahkan di atas 60 tahun. Median umur penderita limfoma non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa tipe, yaitu NHL derajat tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja muda. Insidensinya adalah 6 per 100.000. 

Etiologi 
Etiologi NHL sebagian besar belum diketahui. Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV, infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14), yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik. 

HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL terdapat translokasi kromosom. Yang khas disini adalah bahwa bagian kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi. 

Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik. 

Patologi 
Pembagian histologik 
Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen dengan spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan waktu dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang dapat diyakini dan dapat direproduksi (Knowles, 1993). Semula klasifikasi ini didasarkan atas sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih tepat mengenai tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya digunakan klasifikasi Kiel, di Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga menurut Rappaport. Karena dengan ini perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat banyak kesukaran, pada tahun 1982 dikembangkan Working Formulation (WF)(NHLPCP, 1982). Ini bukanlah suatu sistem klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik yang dapat membedakan entities dengan implikasi prognostik. 

Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2, yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif. 

Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%) dan tinggi (20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi Dorfman, Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan tipe sel. Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe sel-B dan sel-T, belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku klinis malignitas ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan terapeutik. 

Tabel 1. Klasifikasi histologik limfoma non-Hodgkin menurut klasifikasi Kiel dan penetapan stadium menurut Working Formulation
Limfoma sel-B
Limfoma sel-T
Derajat malignitas rendah
Derajat malignitas rendah
Limfositik (antara lain CLL)
Imunositoma
Folikular-sentroblastik/sentrositik
Limfositik (T-CLL)
Derajat malignitas intermedier
Derajat malignitas intermedier/tinggi
Folikular-sentroblastik-sentrositik
Difus sentroblastik
Sel mantel
Sel besar-anaplastik
Pleomorf sel kecil dan sel besar
Sel besar anaplastik
Imunoblastik
Limfoblastik
Derajat malignitas tinggi
Imunoblastik
Burkitt
Limfoblastik
Lain-lain
Lain-lain
Terasosiasi mukosa (MALT)
Leukemia sel rambut
Plasmasitoma
Mycosis fungoides
Sindroma Sezary
Kutan (antara lain CD30+)

Teknik tambahan pada pemeriksaan histologik 
Di samping kriteria morfologik untuk menentukan diagnosis NHL, banyak digunakan pemeriksaan imunohistokimiawi (van Dongen, 1988). Kenyataan bahwa malignitas itu sifatnya klonal, artinya terjadi dari satu sel yang tertransformasi, dapat digunakan untuk diferensiasi antara proliferasi reaktif dan NHL. Pada limfoma sel B dalam hal ini dapat diperhatikan restriksi rantai ringan. Artinya bahwa satu NHL sel B hanya memproduksi satu tipe rantai ringan, kappa, atau lambda. Ini ditunjukkan dengan tekhnik imunohistokimiawi. Dengan penggunaan panel zat penanda yang karakteristik untuk berbagai stadium perkembangan sel B dan sel T lebih lanjut dapat dibedakan antara NHL sel B dan sel T dan antara berbagai subtipe NHL. 

Pemeriksaan imunohistokimiawi, dalam banyak hal harus dikerjakan atas vriescoupe. Jadi sangatlah penting bahwa patolog anatomi menerima material yang dikirim (kelenjar limfe, material biopsi lambung, dan lain-lain) tidak terfiksasi, jadi tidak dalam formalin. Juga dengan menggunakan teknik biologi molecular dapat ditunjukkan monoklonalitas, tipe sel-B dan sel-T dari proliferasi limfoid. Disini diperhatikan penyusunan (kembali) gen-gen reseptor immunoglobulin dan sel-T. juga dengan cara ini dapat diperiksa translokasi yang terdapat pada berbagai tipe NHL. 

Manifestasi Klinis 
NHL kebanyakan menampakkan diri sebagai pembesaran kelenjar limfe. Ini dapat terjadi pada semua stasiun kelenjar. Kelenjar limfe biasanya tidak nyeri dan ukurannya dapat bervariasi dari 1-2 cm sampai paket yang lebih besar. Pada limfoma folikular pembengkakan kelenjar limfe kadang-kadang sudah ada beberapa tahun tanpa mengalami banyak perubahan dalam ukurannya. 

Sekitar 20-30% dari NHL mulai ekstranodal, keluhan bervariasi tergantung pada organ yang terlibat. Limfoma ekstranodal antara lain dapat dijumpai di kulit, traktus digestivus, tulang, kelenjar tiroid dan testis. 

Diagnosis 
Diagnosis ditetapkan dengan pemeriksaan material biopsi kelenjar limfe. Pungsi histologik dapat mencurigakan untuk diagnosis, tetapi histologi diperlukan untuk klasifikasi yang tepat dan menentukan subtipenya, yang mempunyai konsekuensi terapeutik penting. 

Sesudah diagnosis NHL ditetapkan, perlu dijalankan penetapan stadiumnya. Pembagian stadium yang digunakan identik dengan yang digunakan pada penyakit Hodgkin. Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan perhatian khusus untuk organ limfoid antara lain juga lingkaran Waldeyer, pemeriksaan inisial ini juga meliputi analisis darah (gambaran darah, fungsi hepar, fungsi ginjal dan spektrum protein). Jelas jika ada kelenjar di leher ikut serta dalam proses itu diperlukan pemeriksaan THT. Pemeriksaan rontgen meliputi foto toraks dan CT-scan perut. CT-scan pada NHL praktis menggantikan limfangiografi. 

Untuk penetapan stadium pengeboran tulang penting, terutama pada limfoma folikular, hasilnya 60-70% dari kasus positif. Pada limfoma difus sel besar hasilnya lebih rendah (30%). Karena itu pada limfoma folikular, penyakitnya dalam 70-80% kasus telah berada dalam stadium III atau IV pada presentasi pertama. 

Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt seperti LLA, dapat menunjukkan perluasan meningeal, pasti jika sumsum tulangnya positif. Untuk ini diperlukan pemeriksaan liquor. 

Pada NHL dapat terjadi hemolisis autoimun dan trombositopenia. Pada anemia atau trombositopenia yang tidak jelas sebabnya harus diingat akan hal ini. Kadang-kadang terdapat juga paraproteinemia. 

Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma non-Hodgkin
Anamnesis
Gejala-gejala B
Kelainan yang terasosiasi dalam keluarga
Pemeriksaan
Kelenjar-kelenjar : lokalisasi dan besarnya
Pembesaran hepar, limpa
Pemeriksaan THT
Pemeriksaan laboratorium
LED, Hb, leukosit, trombosit
Faal hati dan ginjal
SLDH
Spektrum protein
Pemeriksaan sumsum tulang
Biopsi tulang Yamshidi
Pemeriksaan rontgen
X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
Dipertimbangkan/jika ada indikasi
Pemeriksaan imunotipe darah perifer pada lokalisasi ekstranodal atau organ
Pemeriksaan gambar organ bersangkutan dan kelenjar-kelenjar berbatasan
Pemeriksaan lambung pada limfoma THT
Pemeriksaan liquor pada sumsum tulang positif pada NHL derajat intermedier tinggi
Pemeriksaan trombositopenia hemolisis/autoimun

Pada NHL yang primer terlokalisasi di organ dalam prinsipnya dilakukan penetapan stadium yang sama, ditambah dengan pemeriksaan organ yang bersangkutan. Pada limfoma lambung sering didapatkan lokalisasi tonsil, dan juga kebalikannya. Jadi pemeriksaannya harus diarahkan ke sini.

Terapi Pada pemilihan terapi limfoma non-Hodgkin yang penting adalah stadium, derajat malignitas, dan umur.

Terapi limfoma derajat malignitas rendah Sekitar 25-30% NHL termasuk limfoma derajat malignitas rendah. Dari golongan ini limfoma folikular sentroblastik-sentrositik merupakan bagian terbesar. Sebagian besar limfoma ini berada dalam stadium III dan IV. Yang dibicarakan di bawah terutama mengenai tipe ini (Horning, 1994). Untuk stadium I dan II yang frekuensinya kecil, radioterapi adalah terapi yang diperlukan. Dengan ini, 70% penderita dalam stadium I dan 50% dalam stadium II sembuh. Penelitian mengenai nilai kemoterapi ajuvant sesudah radioterapi tidak menunjukkan perbaikan ketahanan hidup.

Tabel 8. Pilihan terapi limfoma non-Hodgkin
Derajat rendah (folikular)
Difus (derajat intermedier/tinggi)
Stadium I
RT
RT
Pada tumor >5cm CT, kemudian RT
Stadium II
RT
Sebagai stadium III atau IV
Stadium III-IV
Mungkin :
-     Wait and see
-     Mono-CT
-     Kombinasi CT : CVP
-     TBI
-     Terapi ajuvan interferon
Kemoterapi CHOP
RT : radioterapi
CT : kemoterapi
TBI : total body irradiation

Tabel 4. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma non-Hodgkin
Dosis (mg/m2)
Hari ke-
1   2   3   4   5   8   15
CVP
Vinkristin
Siklofosfamid
Prednisone
1,4
300
50-100
p.o.
p.o.
p.o.
+
------------------
------------------
CHOP
Siklofosfamid
Prednisone
Vinkristin
Prednisone
750
50
1,4
60-100
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
+
+
+
------------------
CHVmP/VCR bleo
Siklofosfamid
Adriamisin
VM 26
Prednisone
Vinkristin
Bleomisin
600
50
60
60
1,4
10
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
i.v.
i.v.
+
+
+
-----------------
                               +
                                +
Keterangan :  +  dosis sekali
                     ---  diminum tiap hari berkelanjutan

Limfoma derajat malignitas intermedier dan tinggi 
Mengenai stadium I, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa dengan radioterapi saja dalam 60-70% kasus dapat diperoleh kesembuhan. Jika dalam stadium I limfoma lebih besar dari 5 cm maka radioterapi saja tidak cukup. Sebagian lain cenderung semua limfoma intermedier dan derajat tinggi diterapi dengan kemoterapi, tetapi radioterapi saja untuk stadium I dengan massa kelenjar yang kecil dapat dipertahankan. 

Dalam stadium II, III, dan IV, kemoterapi merupakan tindakan terpilih. Terapi standar masih tetap kemoterapi CHOP (siklofosfamid, adriamisin, vinkristin, prednisone). Dengan ini kira-kira 60% kasus dapat mencapai remisi komplit, dengan 30% ketahanan hidup lebih lama, atau dalam hal ini kesembuhan. 

Komplikasi 
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal. 

Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva. 

Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia.

Comments

Popular posts from this blog

Langkah Awal Resusitasi Neonatus dengan HAIKAL

Dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus, perlu kita perhatikan kesiapan semua aspek. Mulai dari kesiapan alat, kesiapan penolong, kesiapan ruangan, kesiapan tim, bahkan kesiapan dari keluarga untuk mengantisipasi semua hal yang dapat terjadi pada saat proses persalinan. Neonatus dilahirkan ke dunia butuh proses untuk mengadaptasikan dirinya yang awalnya berada intrauterine untuk menjadi tumbuh dan berkembang secara ekstrauterine. Semua itu butuh kesiapan dari seluruh organ yang ada di dalam tubuhnya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Penilaian VTP Tidak Efektif dengan SRIBTA

Ada kalanya dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus kita memerlukan tindakan pemberian ventilasi tekanan positif (VTP) dikarenakan kondisi pernafasan bayi belum adekuat untuk bisa bertahan hidup dalam proses adaptasinya dengan lingkungan ekstrauterine. Pemberian VTP diindikasikan pada kondisi berikut, yaitu pertama terjadinya pernafasan yang megap-megap dari bayi atau apneu. Yang kedua, walau bayi dapat bernafas spontan, namun frekuensi jantung kurang dari 100x/menit. Selanjutnya, yang ketiga, SpO2 yang terukur berada di bawah target SpO2 walaupun sudah diberikan O2 aliran bebas.

Perbedaan Visum et Repertum, Rekam Medis, dan Surat Keterangan Ahli

Pada postingan sebelumnya, telah dijelaskan apa itu visum et repertum, rekam medis, maupun surat keterangan ahli. Namun, tahukah anda apa perbedaan dari tiap istilah tersebut ? Mungkin tabel berikut dapat menjelaskan apa sebenarnya perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Silakan dibaca secara seksama apa perbedaan dari tiap istilah tersebut. Apabila masih ada pertanyaan yang muncul di kepala terkait istilah-istilah ini, ditanyakan melalui kolom komentar di bawah agar lebih jelas. Segala pertanyaan akan saya usahakan untuk dijawab sebisa mungkin. Semoga semua puas, terima kasih.